Jadilah “Diri Sendiri” Yang “Baik”

“Kang, dulu kuliah di jurusan bahasa Indonesia ya…?” Tanya seorang teman pada saya.

“Lho kok…, memangnya kenapa? Ada yang salah ya?” Selidik saya sedikit penasaran.

“Tampak saja dari cara bicaranya, S-P-O-K banget, E-Y-D tulen, alias formal abis, bak protokoler di istana. Haha…” Jawabnya sambil ngakak….

“Ya…, terserah ente aje mau bilang  gue kaye ape… Gue emang bigini adanye… (nyoba ngomong agak gaul dikit…. Hehe..) Yang penting bahasaku tidak menyakiti orang lain.” Timpal saya padanya.

Beda lagi dengan seorang teman yang lain, ia mempertanyakan keaslian saya sebagai orang tatar Sunda. Menurutnya, gaya bicara saya tidak seperti orang Sunda pada umumnya, intonasinya beda, tidak ada kesan Sundanya. Wuih…, sampai segitunya orang memperhatikan saya. Padahal jika dirasa-rasa, tidak ada yang berbeda dengan orang Sunda pada umumnya. Abdi masih tiasa nyarios ku bahasa Sunda dan seneng upami nyarios ku eta bahasa.

Bahkan ada teman yang berlebihan, katanya saya seperti orang Padang. Wah.. wah.., keterlaluan ini mah. Saya benar-benar anak Sunda tulen, eh.. malah dibilang anak Padang. Kalau pak Gubernur Jabar tahu, bisa-bisa kena sanksi tuh orang…. Berani-beraninya dia mengklaim dan mencaplok warganya sebagai bagian dari daerah lain. Ini kan asset warga Jabar… #hehe.. nggak bakalan segitunya juga sih…

********

Saya mencoba merenung, apakah benar apa yang dikatakan orang-orang sekitar? Rasanya, agak sulit untuk menilai diri sendiri. Ku coba Tanya beberapa teman dekat, orang-orang yang sering interaksi dengan saya, atau paling tidak mengenal saya. Baik yang kenalnya sudah lama, ataupun baru. Apa coba jawaban mereka?

“Emang iya kamu itu begitu..  Kesan pertama saat dulu bertemu, kamu tuh orangnya formil…, setelah cukup lama kenal, eh ternyata tidak juga, bisa diajak canda, walaupun tak serenyah Tukul Arwana”  Seorang teman memberi penilaian. #Ya… iyalah, emang saya pelawak…. Heheh…

Sahabat “inspirator” yang lain bahkan berbagi cerita dengan saya. Saat SMA nya dulu, dia mempunyai sahabat-sahabat yang tergabung dalam satu komunitas tertentu. Komunitas orang-orang yang memiliki gaya bahasa formal seperti saya. Menurutnya, kalau saja mereka mengetahui, bisa-bisa saya “diculik” oleh mereka…. IIIIhhhhhhh…. Sereemmmmm…

********

Terlepas dari semua penilaian sesama, inilah saya apa adanya, seorang hamba yang berharap dapat mensyukuri seluruh anugerah-Nya. Apapun itu. Walau kadang diri sendiri juga belum mengetahui hikmah dari semua anugerah itu, termasuk anugerah gaya bertutur kata yang saya terima. Namun pada saatnya, insya Allah hikmah itu akan terungkap, dan pasti bermanfaat bagi hamba-Nya.

Bila menoleh ke belakang, dan memperhatikan apa yang mempengaruhi gaya bahasa saya -- tentunya di balik taqdir Allah ya…..-- , mungkin hal inilah yang menjadi sebab-akibatnya. Sejak duduk di bangku SLTP, saya sering terlibat di bagian kesekretariatan organisasi. Kerjaannya, paling sering bikin proposal dan tek-tek bengeknya. Pokoknya, yang bau-bau administrasi gitu deh… Hal ini pun berlanjut hingga saat duduk di jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari itu, bahkan hingga hari ini.. Seringnya, disuruh bikin proposal ini – itu lah….

Tentu kamu juga tahu kan, pekerjaan seperti itu berkutat dengan huruf, kata, kalimat, subjek, predikat, objek, keterangan, koma, titik, tanda tanya, tanda seru, paragraph, spasi, EYD,…. Apa lagi ya…? Hehe… Ini sekedar perkiraanku saja. Mungkin interaksi itulah yang juga ikut mempengaruhi gaya bahasa tutur kata saya, jadinya formil banget…

Saya tidak akan pernah menyesal dengan semua pemberian-Nya. Karena segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Salah satu hikmah yang sudah sangat terasa, saya diberikan kemudahan oleh Allah Swt untuk menyusun kata-kata dan menuliskannya menjadi catatan sederhana. Ya…, seperti tulisan ini. Walaupun hanya kalimat sederhana dan belum tentu enak dibaca. Tapi saya bangga bisa menuliskannya. Sesuatu yang belum tentu semua orang bisa melakukannya.

Menjadi diri sendiri adalah sesuatu yang saya tekadkan. Saya tidak ingin mengikuti arah angin bertiup. Saya punya jati diri. Tidak harus mengikuti gaya orang lain yang belum tentu cocok dan pantas bagi diri saya.

Untuk menjadi diri sendiri, ternyata tak cukup hanya bermodalkan semangat dan kemauan kuat, tapi harus dipastikan juga bahwa karakter yang ada itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma-norma yang ada. Artinya, karakter tersebut juga harus baik. Jika demikian adanya, jadilah dirimu sendiri dan terus tingkatkan kebaikanmu.

Lain halnya bila karakter yang ada sekarang itu tidak baik. Pesan yang paling utama adalah, rubahlah dirimu mengikuti kebaikan orang lain. Carilah teladan mulia dari orang-orang yang memiliki keteladanan dan akhlak mulia, sehingga kita bisa mengikuti jejak kebaikannya. Justru kalau tetap jadi dirimu sendiri yang karakter dan akhlaknya belum baik, bukan kebahagiaan dan kebanggaan yang ada, tapi kecelakaan dan kehinaan di hadapan manusia dan di hadapan Allah Swt. Wal ‘iyadzu billah.

Belum ada Komentar untuk "Jadilah “Diri Sendiri” Yang “Baik”"

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? Tuliskan komentar anda pada di bawah ini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel