Ayah Izinkan Aku Menikah
Jumat, 13 Juli 2012
Tulis Komentar
Pernikahan adalah salah satu syariat Islam yang juga merupakan bukti kesempurnaannya. Islam tidak pernah mengkebiri hak-hak dan fitrah insaniyah para pemeluknya. Bahkan sebaliknya, menjunjung tinggi dan memfasilitasi dengan cara dan proses yang dibenarkan.
Melihat betapa mulia dan tingginya tujuan pernikahan dalam Islam, sampai-sampai kita sering mendengar ungkapan “menikah adalah menyempurnakan separuh agama”.
Ya…, begitulah adanya. Banyak hal kebaikan dalam agama yang keutamaannya lebih unggul jika dilakukan oleh pribadi yang telah memiliki pasangan, dan tidak demikian jika dilakukan masih sendirian. Itu hanya salah satunya saja. Masih banyak hal-hal lain yang tidak dapat ditemukan di luar pernikahan. Seperti ketenangan jiwa, cinta suci, dan kasih sayang.
Kematangan dan kesiapan seseorang untuk menikah beragam rupa. Ada yang perlu didorong oleh keluarga dan saudara, dan ada pula menyatakan kesiapan dengan sendirinya. Biasanya, hal ini tidak terlepas dari kematangan pribadi orang tersebut dalam sisi pemikiran, spiritual, emosional, biologis, dan financial.
Bagi seorang pemuda atau pemudi yang mendapat sokongan keluarga untuk segera menikah, mungkin tidaklah terlalu susah untuk mewujudkannya. Tinggal ia meyakinkan diri untuk lebih mantap melangkah menggapai keluarga sakinah.
Lain halnya bila keinginan menikah sang pemuda atau pemudi tersebut keluar dari kesadaran dirinya sendiri. Ia merasakan sudah memiliki kematangan jiwa dan kecukupan untuk menggenapkan separuh agama. Ia yakin dirinya sudah layak dan yakin untuk melangkah, serta calon pasangannya pun sudah ia temukan. Sementara itu, orang tuanya belum memberikan izin padanya untuk menikah. Mereka tidak ingin anaknya cepat-cepat nikah. Titik sudah.
Fenomena seperti ini sering ditemukan di masyarakat kita. Pada umumnya ini terjadi pada keluarga yang belum terlalu paham agama, atau keluarga yang memiliki gengsi kelas VIP. Sehingga pernikahan anaknya nanti harus berkelas dan menunggu semuanya sempurna.
Dari kasus yang pernah terjadi, beberapa penyebabnya antara lain adalah :
Satu. Orang tua tidak dapat memahami aspek psikologis dan emosional anaknya yang sudah membutuhkan hadirnya pasangan. Padahal sesuatu yang dibutuhkan, jika tidak terpenuhi, maka akan ditemukan ketimpangan dalam jiwa. Naudzubillah min dzalik. Kalau saja orang tua meraba perasaan anaknya, tentu akan lebih baik keadaannya. Karena yang akan menjalani pernikahan itu anaknya sendiri, bukan orang tuanya.
Dua. Orang tua sangat idealis dalam menentukan kriteria calon menantunya. Misalnya, usia calon pasangan tidak boleh lebih tua atau lebih muda, harus cantik atau tampan, harus sarjana, harus orang kaya, dan harus-harus lainnya yang menganggap calon menantunya harus sempurna. Semua itu tidak salah. Hanya saja orang tua juga harus realistis. Tidak akan ada yang sempurna segala-galanya. Pasti saja ada satu sisinya yang kurang. Namanya juga manusia. Karena itulah, salah satu fungsi pernikahan adalah melengkapi dan menyempurnakan kekurangan masing-masing pasangan.
Tiga. Aspek keuangan keluarga. Orang tua menghendaki resepsi pernikahan berlangsung meriah dan menjadi kebanggaan. Terlebih bila orang tua merupakan seorang tokoh, atau pribadi yang meiliki koneksi ke sana ke mari. Biasanya ia akan sedikit terpengaruh oleh budaya dan kebiasaan acara-acara pernikahan yang seringkali ia kunjungi. Misalnya, resepsi meriah pernikahan anak temannya.
Dengan demikian, ia tidak ingin dulu menikahkan anaknya hingga ia mampu menyelenggarakan resepsi seperti yang pernah ia alami di temannya. Lebih tepatnya, hanya karena alasan prestise, ia berani mengorbankan perasaan dan kondisi hati anaknya.
Semestinya, orang tua tidaklah berlaku seperti itu. Ia tidak harus mengukur dirinya dengan ukuran orang lain. Sebagaimana pepatah sunda, “ulah ngukur baju ka munding”, jangan mengukur baju ke kerbau. Artinya, penuhilah kebutuhan diri sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri pribadi, bukan dengan ukuran orang lain yang lebih besar daripada kita.
Resepsi pernikahan tidak harus mewah apalagi banyak yang mubah (percuma). Cukup pastikan terpenuhi syarat dan rukunnya, serta sunnah-sunnah yang dianjurkan di dalamnya, seperti walimah. Nabi bersabda, “Selenggarakan walimah walau dengan seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim)
Empat. Kemapanan anak secara ekonomi. Menikah tidak cukup hanya bermodalkan cinta. Karena pasangan kita bukan makan cinta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menjadi keharusan untuk memiliki jalan penghasilan, terutama suami saat meminang wanita untuk dijadikan istri. Seperti apapun dan sesederhana apapun jalan penghasilan tersebut. Yang jelas, jangan sekali-kali jadi “pengacara” (pengangguran banyak acara) yang malah membebani keluarga.
Suatu hal yang wajar bila orang tua tidak dulu mengizinkan anaknya karena alasan ini. Akan tetapi jadi tidak wajar jika tolak ukur kemandiriannya diukur dengan ukuran-ukuran tertentu. Misalnya, harus dulu punya rumah, kendaraan, tabungan yang melimpah, dan lain sebagainya. Andai saja harus mengikuti semua keinginan itu, entah kapan anaknya bisa menikah. Karena untuk mewujudkan itu semua tidak terlalu mudah. Perlu waktu dan proses yang tidak instan.
Cukuplah anak direstui untuk menikah ketika ia sudah mulai kesanggupan untuk mencari dan memiliki jalan penghasilan sendiri, tanpa harus mempertimbangkan besar kecilnya pendapatan anak. Karena sejatinya, rizki seringkali datang tidak disangka-sangka dari jalan yang lain, bukan dari mata pencaharian sehari-hari. Percayalah! Ingin kaya?, Ayo kita menikah! Heheh....
Lima. Adat dan kebiasaan di keluarga atau lingkungan. Sebagian keluarga biasa menikahkan anak-anaknya jika usia mereka telah berkepala tiga. Kurang dari itu, sama sekali tidak ada izin untuk melakukannya. Budaya dan kebiasaan terlalu melekat di keluarga, atau bahkan menjadi sesuatu yang dijunjung tinggi di lingkungan (daerah). Sehingga bila menyelisihi kebiasaan yang ada, akan menjadi aib dan momok besar bagi keluarga.
Sementara Islam tidak memandang seperti itu. Ketika anak sudah masuk usia balig, memiliki kematangan berpikir yang cukup, kematangan emosional dan spiritual yang optimal, serta sudah ada keinginan untuk melengkapi satu sama lainnya, nikahkanlah. Terlebih bila yang datang adalah pribadi shalih atau shalihah yang diharapkan dapat melengkapi kebahagiaan rumah tangga dalam meniti tangga-tangga ketaqwaan kepada Allah Swt.
Untuk para Ayah, Ibu, dan semua orang tua yang memiliki anak yang sudah dewasa, perhatikanlah anak-anak kita. Duduklah bareng dengan mereka dan dengarkan bisikan hatinya. Jangan biarkan ada kegelisahan dan kegalauan di hati mereka yang tak tersampaikan kepada kita, dengan alasan hanya karena orang tua tidak akan pernah peduli dengan apa yang mereka rasakan.
Sehingga pada saat anak kita nanti berujar, “Ayah, izinkan aku menikah”, tidak ada alasan dan beban berat bagi kita untuk mengizinkan, meridhai, serta menyokongnya dengan segenap cinta dan kasih sayang. Semoga.
Belum ada Komentar untuk "Ayah Izinkan Aku Menikah"
Posting Komentar