Saya Izin Untuk Shalat
Kamis, 21 Juli 2011
3 Komentar
"Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”
(QS. An-Nuur : 37)
“
Allahu akbar Allahu akbar...”, panggilan adzan shalat zhuhur tiba saat Ahmad dan teman-temannya menyelesaikan salah satu rangkaian psikotest di salah satu Islamic Boarding School yang cukup besar di daerah Jawa Barat. Seorang ibu paruh baya yang merupakan bagian dari tim psikotest yang dihadirkan lembaga tersebut berkata, “Bapak dan Ibu sekalian, maaf shalat zhuhur akan diakhirkan, karena masih tersisa satu lembar psikotest lagi”.
(QS. An-Nuur : 37)
“
Allahu akbar Allahu akbar...”, panggilan adzan shalat zhuhur tiba saat Ahmad dan teman-temannya menyelesaikan salah satu rangkaian psikotest di salah satu Islamic Boarding School yang cukup besar di daerah Jawa Barat. Seorang ibu paruh baya yang merupakan bagian dari tim psikotest yang dihadirkan lembaga tersebut berkata, “Bapak dan Ibu sekalian, maaf shalat zhuhur akan diakhirkan, karena masih tersisa satu lembar psikotest lagi”.
Sebagai Muslim yang sedang belajar untuk taat pada Allah dan berusaha agar shalat di awal waktu utama, Ahmad mencoba memberi masukan sekaligus permintaan kepada tim psikotest tersebut, “Ibu, tes terakhir ini butuh waktu yang cukup lama, bagaimana kalau kita shalat Zhuhur saja dulu?”, pinta Ahmad padanya. “Betul, tes ini butuh waktu sekitar 1,5 jam, tidak boleh terpotong oleh istirahat. Kami butuh kondisi anda seperti saat ini, sedang pusing-pusingnya. Kalau anda shalat dulu, nanti hasil yang kami peroleh berbeda, karena anda telah fresh kembali setelah melakukan shalat”, demikian ujar Ibu tersebut.
Demi mendengar jawaban seperti itu, hati Ahmad bukan semakin tenang dan faham dengan alasan yang diberikannya, yang ada di dada malah keinginan untuk segera menghampiri panggilan dan kemenangan dari Allah Swt., “ Hayya ‘alasshalat, Hayya ‘alalfalaah”. Bagaimana tidak, kalau beberapa jam yang lalu tim psikotes (makhluk) menguji peserta dengan soal-soal psikotes agar dapat diketahui potensi dan kepribadian kami, maka pada detik ini sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla (Khaliq) menguji kami dengan hadirnya waktu shalat. Apakah kami termasuk orang-orang yang bersegera menghampiri seruan-Nya, ataukah termasuk orang-orang lalai yang sering mengakhirkan amal dari waktu utama? Padahal tidak ada jaminan setelah seruan shalat wajib ini tiba, lalu pada satu jam ke depan kita masih bernyawa. Lirih Ahmad dalam hati.
Akhirnya, Ahmad mencoba cara lain. “Ibu, bagaimana kalau begini saja, psikotes tetap berjalan bagi sahabat-sahabat yang ingin meneruskan, dan bagi yang mau shalat dulu mohon diizinkan”, demikian permintaan Ahmad padanya. “Psikotest ini harus dilakukan bersama-sama, tidak boleh ada yang tertinggal. Kalau harus shalat dulu, butuh waktu yang lama, dari mulai wudhu hingga shalat selesai”. Jawabnya seperti orang yang menganggap shalat sebagai beban.
Akhirnya Ibu tersebut menawarkan kembali kepada peserta, diteruskan atau istirahat dulu. Dengan konsekuensi, hasil psikotesnya akan berbeda jika dilakukan sebelum dan setelah istirahat. Hampir semua peserta menyatakan untuk meneruskan. “Teruskan saja bu, shalatnya nanti saja”, celetuk seorang peserta di bangku tengah. Ahmad berharap seorang teman yang duduk di belakangnya memiliki kesepahaman dan kesepakatan dengannya, karena ia lulusan salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di Jawa Barat, sehingga “ruhul istijabah” nya (semangat responsibilitas) pada seruan Allah Swt. akan berbeda dari peserta-peserta yang lainnya. Namun sungguh malang tebakan Ahmad, ternyata ia tak kalah beda dengan orang-orang yang tidak mengenal hakikat waktu dan penciptaan. “Kita teruskan saja bu...” Ujarnya singkat.
Akan tetapi si Ibu ini pun tidak langsung mengiyakan begitu saja, sepertinya ia masih menghormati keinginan Ahmad, “Saya inginnya diteruskan saja, tetapi Bapak yang satu ini (maksudnya Ahmad) belum juga sepakat”, timpalnya menanggapi perkataan peserta lainnya.
Prinsip Ahmad untuk memperbaiki diri tidak akan mati suri hanya karena alasan sederhana seperti ini, Ahmad harus segera menghampiri jamuan dan kemenangan dari Allah. Di saat yang sama, Ahmad juga jadi mengerti, keikut sertaan teman-teman dalam psikotes untuk menjadi pendidik di Islamic Boarding School itu lebih dominan karena urusan duniawi, bukan untuk memperbaiki dan “menceburkan” diri dalam lingkungan yang dianggap “Islami”. Hal ini terbukti dari ketakutan mereka untuk tidak lolos psikotes jauh melebihi ketakutan mereka dari adzab Allah akibat leha-leha terhadap shalat (fawailul lil mushalliin, alladziina hum ‘an shalatihim sahun). Wal ‘iyadzu billah.
Padahal kalau mau, fenomena seperti ini sudah cukup menjadi bahan data bagi HRD lembaga tersebut untuk mengambil keputusan, apakah kami layak atau tidak untuk menjadi guru dan tenaga pendidik lainnya di sekolah Islami ini. Namun sayang, nampaknya itu tidak terpikirkan oleh mereka.
“Sebelum kita lanjutkan, bagi Bapak dan Ibu yang ingin ke toilet terlebih dahulu, kami persilahkan sekitar 3 sampai 5 menit”, demikian ujar seorang ibu lainnya yang akan memimpin test selanjutnya. Di saat seperti itu, tekad Ahmad untuk keluar ruangan semakin kuat. Masa untuk ke toilet saja diberi keleluasaan waktu, sementara untuk shalat seperti “dikekang”. Maka dengan penuh tekad dan pada saat yang tepat, Ahmad berdiri dan “Ibu, saya izin untuk shalat”, ujarnya tegas.
Tanpa memperdulikan lagi apa yang akan terjadi nanti, Ahmad keluar melewati kursi-kursi peserta lain yang tetap akan bertahan di ruangan. Di depan beragam tatapan mata yang tunduk pada manusia, hatinya penuh bersyukur kepada Allah telah diberikan keberanian untuk lebih mendahulukan-Nya, walau harus berbeda dengan yang lainnya. Entah peristiwa apa lagi yang selanjutnya terjadi di sana. Ahmad sudah tidak peduli lagi dengan psikotes tersebut. Fokus Ahmad hanya satu, menuju masjid yang jaraknya hanya sekitar 1 menit dari ruangan psikotes tersebut.
Ahmad basuhkan air wudhu membasahi pori-pori anggota wudhu, mendinginkan suasana hati akibat perseteruan panas antara nafsullawwamah dan nafsulmuthmainnah. Ia agungkan Allah seraya berdoa memohon bimbingan dan pertolongan dalam menjalani kehidupan, hingga akhirnya kalimat salam menyudahi shalat itu.
Saatnya Ahmad kembali ke ruangan. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Akankah Ahmad diizinkan kembali untuk masuk ruangan? Ataukah harus pulang dengan membawa penyesalan? Masa bodoh, pikirnya. Yang jelas, siang ini -- dengan izin Allah -- Ahmad telah menjadi pemenang, mengalahkan hawa nafsu yang mengajak lalai dari segera mengingat-Nya.
Ia membuka pintu ruangan, dan ternyata semuanya masih menunggu kehadiran Ahmad, psikotes selanjutnya belum dimulai, sehingga akhirnya Ahmad masih bisa mengikuti psikotes bersama peserta lainnya dengan tenang. Terpikir di benak Ahmad, kalau memang jadinya seperti ini, kenapa mereka tadi tidak shalat saja terlebih dahulu? Bukankah kewajiban kepada Allah Swt. harus didahulukan? Tapi sudahlah, pikiran mereka belum tentu sama dengan apa yang ada di pikiran Ahmad.
Sekarang adalah saatnya untuk mengerjakan tes berikutnya, dan ternyata benar sebagaimana dugaan di awal, tes terakhir ini akan membutuhkan banyak waktu, sehingga tes baru selesai sekitar pukul 13.30 WIB, belum lagi ditambah waktu makan siang yang telah disiapkan panitia. Waktu yang sangat molor bagi seorang Muslim yang sedang berusaha taat dengan bersegera shalat di awal waktu utama. Karena, jika shalat saja sudah berani dilalaikan dari waktu utamanya, maka bagaimana pula dengan peluang-peluang berharga yang ada di kehidupan kita? Akankah kita biarkan begitu saja diambil oleh orang-orang yang bersegera? Dan shalat di awal waktu utama sudah cukup mengajarkan segala-galanya. Subhanallah......
Masya Allah!!!
BalasHapusjarang sekali ada anak yg bersikeras memenangkan kebenaran!! :)
ada juga "prioritas", yang akan bersentuhan dengan kondisi waktu dan tempat, penting dan urgentnya suatu hal.
BalasHapusmemprioritaskan yang "lebih" prioritas, Allah Swt., sebagai sumber rizki, keberkahan, ketangan dan segala-galanya.
BalasHapusAdakah yg lebih prioritas dari segera menghampiri undangan-Nya?
Hanya mata hati yang bersih yang dapat menyingkap hakikat kehidupan yang sesungguhnya...
Kita berharap, kita bisa belajar untuk memperbaiki prilaku kita....