Wajah Anak Didik Kita
Kamis, 14 Juni 2012
Tulis Komentar
Kalaulah bukan karena rahmat Allah, entah apa yang terjadi. Selepas sholat Ashar sore kemarin, hampir-hampir tanganku mendarat di fisik salah satu anak didik. Sikapnya yang belum menjunjung tatakrama dan kesopanan, hampir membuat emosiku membuncah ruah menyiram kekesalan di dada. Bagaimana tidak emosi, beberapa lembar modul materi pelajaran PAI yang baru saja dibagikan, ia remuk-remuk dibuat bulatan bola dan dilempar kesana-kemari, sebagai ekspresi ketidaksetujuannya. Tapi Alhamdulillah, semua itu tidak terjadi. Dengan izin Allah, jiwa ini dapat mengendalikan diri dengan berusaha memahi sebab-sebab sikap dan prilaku itu terjadi, hingga kahirnya dapat memaklumi.
Seperti biasa, jadwal ba’da shalat Ashar adalah muraja’ah (mengulang hafalan) Al-Quran. Anak-anak biasanya langsung berkumpul dan mencari posisi yang lebih dekat dariku, agar dapat kesempatan lebih awal untuk setoran muraja’ah.
Sore ini memang ada yang berbeda. Selain setoran muraja’ah Al-Quran, anak-anak diharuskan menyetorkan hafalan dzikir Al-Ma’tsurat, sebagaimana yang sudah diinformasikan sepekan sebelumnya. Ini dilakukan sebagai bentuk test praktek pelajaran Pendidikan Agama islam (PAI). Sontak saja, beragam jawaban anak-anak keluar. Ada yang bilang, “Buat apa ditest-test segala, nggak penting”. Ada lagi, “Dzikir itu tidak usah dikerasin, cukup diri sendirisaja yang tahu.” Tampaknya sih.., itu semua lebih karena ketidak siapan mereka untuk menyetorkan hafalan al-Matsurat.
Saya coba menjelaskan dengan arif dan seksama. Mulai dari esensi dzikir dan kesanggupan untuk menghafalnya. Sebenarnya, bagi anak-anak yang rajin dan setiap pagi-petang biasa mengikuti dzikir al-Matsurat dengan khidmat, hal ini mudah saja, tidak ada yang susah apalagi memberatkan. Toh mereka setiap hari membaca dan sering mendengarnya. Berbeda halnya dengan anak-anak yang ba’da shubuh malah memilih ngantuk, tidak menyimak dengan baik apalagi ikut membacanya bersama. Padahal mereka sudah 2 tahun lho di lembaga ini.
Setelah pulang dari masjid, di sepanjang perjalanan pulang tak habis-habisnya saya berfikir. Apa gerangan yang salah? Hingga 2 tahun di tempat ini mereka belum hafal al-Matsurat dengan baik. Bahkan ada beberapa anak yang menyempurnakan bacaan surat al-Baqarah 1-5 saja tidak bisa. Keterlaluan sekali kan. Padahal setiap pagi dan sore mereka dituntut untuk membacanya secara bersama-sama. Dengan harapan bisa hafal dengan sendirinya, tanpa harus memaksakan diri mengahafalnya. Karena biasanya, sering menyimak dan membaca secara bejama’ah dapat membantu untuk bisa menghafalnya. Tapi ternyata realitanya tidak demikian.
Bicara evaluasi, tampaknya ada banyak hal yang harus dievaluasi dan diperbaiki. Walaupun baru 1 tahun saya tinggal di sini, saya melihat “ketidak mampuan siswa menghafal al-Matsurat” dengan baik tidak begitu saja terjadi. Pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Iya kan…?
Menurut hemat saya, salah satu sebabnya adalah “bongkar-pasang” sistem yang masih mencari format yang tepat. Berbagai kebijakan terkadang belum saling menguatkan. Bahkan adakalanya berseberangan. Belum ada konsep dan support system yang dapat memaksa mereka untuk mau menghafalnya dengan sungguh-sungguh hingga bisa melafalkannya bak air mengalir. Pantas saja kalau pada akhirnya fenomena di atas terjadi.
Lebih dari itu, saya berpikir, mungkin selama ini kita mengajar anak belum dengan cara yang benar, kurang ikhlash, lebih mengedepankan aspek pencapaian nilai pelajaran daripada penanaman nilai spiritual (ruhiyah) yang menjadi modal utama dan paling mendasar bagi kehidupan. Astaghfirullah..
Sore hari yang cukup membuat saya merenung, dan mendorong diri untuk kembali duduk bareng dengan teman-teman, curhat mengenai berbagai kondisi untuk merumuskan solusi. Semoga esok hari ada solusi yang pasti. Semoga.
Belum ada Komentar untuk "Wajah Anak Didik Kita"
Posting Komentar