Komunikasi Antar Hati

Sebagai makhluk sosial, keberadaan komunikasi merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Baik komunikasi secara verbal, tekstual, maupun isyarat. Berbagai pikiran, perasaan, dan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari disampaikan melalui komunikasi.

Komunikasi yang baik di antara sesama tak cukup sekedar mengandalkan kejelasan vokal, kalimat atau isyarat saja. Pun juga tidak cukup sekedar informasi yang disampaikan itu sudah BAL (Benar, Akurat, Lengkap). Ada hal lain yang sering luput dari perhatian kita saat berinteraksi dengan sesama. Yaitu kondisi hati dan perasaan lawan bicara (komunikan). Informasi serta pesan yang baik dan benar, belum tentu dapat diterima dengan baik pula bila disampaikan pada saat yang kurang tepat. Alih-alih kebaikan yang diperoleh, justru salah paham yang didapatkan.

Hal ini sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Terlebih lagi bila komunikasi tersebut tidak dilakukan di satu tempat yang sama. Via telepon, atau SMS misalnya. Sehingga komunikator (yang menyampaikan informasi awal) tidak dapat melihat dan mengetahui bagaimana kondisi komunikan (penerima informasi) sesungguhnya. Apakah ia siap menerima informasi yang akan disampaikan atau tidak. Hal ini sangat penting, karena esensi dari komunikasi adalah terwujudnya pesan yang disampaikan itu sendiri.

Komunikasi yang berhasil adalah komunikasi antar hati. Meraba hati terdalam dan memahami kondisinya. Dari ke dua belah pihak tentunya. Satu sama lain saling menghormati dan memperhatikan perasaan yang mungkin terjadi. Sehingga tidak harus sungkan untuk menyampaikan ketidak sanggupan, bila diri belum siap melaksanakan pesan yang disampaikan. Toh bila hal itu disampaikan, tidak akan mengurangi kemuliaan diri dan kepercayaan dari lawan bicara.

Apa yang dialami Salimah cukup menjadi pelajaran bagi kita. Saat dirinya diminta oleh pimpinan tempatnya bekerja untuk menyiapkan apa yang menjadi tugasnya. Deadline penyelesaian tugas hanya tinggal dua hari. Sementara saat itu dirinya sedang tidak enak badan. Kurang sehat. Sehingga tidak akan dapat menyelesaikan tumpukan tugas dalam waktu secepat itu.

Namun merasa dirinya tidak ingin mengecewakan pimpinan, Salimah memaksakan diri walau harus mengorbankan kesehatan dirinya. Ia mencoba mengerjakan tugas dalam sisa tenaga dan fikiran yang tidak focus. Hingga akhirnya ia jatuh sakit dan harus istirahat beberapa hari. Dan pekerjaan pun belum dapat diselesaikan dengan baik.

Padahal kalau saja Salimah mau jujur pada pimpinan, ia tidak harus seperti itu. Salimah bisa menyampaikan pada pimpinan bahwa dirinya sedang tidak enak badan, dan belum dapat menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Pengakuan ini tidak akan mengurangi kepercayaan pimpinan kepada dirinya. Justru sebaliknya, pimpinan akan berempati dengan kondisi yang dialami Salimah, dan berusaha untuk memaklumi.

Sahabat, komunikasi antar hati hanya dapat terwujud bila ke dua belah pihak tidak merasa sungkan, segan dan enggan untuk menyampaikan dan menerima kondisi dan kesiapan diri yang sesungguhnya. Bisa atau belum bisa untuk melakukannya. Siap atau belum siap untuk menjalankannya. Dengan demikian, ke dua belah pihak akan saling memahami tanpa mengurangi rasa hormat dan kepercayaan satu sama lain.

Subang, 24 Maret 2012

Belum ada Komentar untuk "Komunikasi Antar Hati"

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? Tuliskan komentar anda pada di bawah ini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel