Lidah Tak Bertulang
Senin, 03 Oktober 2011
Tulis Komentar
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari hadits no. 6089 dan Al-Imam Muslim hadits no. 46 dari Abu Hurairah)
Bukan lidah kalau ia tidak pandai bertingkah. Bukan Pula lidah kalau ia tidak pandai bersilat, hingga menjadikan pemiliknya seorang yang taat, atau bahkan pelaku maksiat karena membuat sakit hati orang-orang terdekat. Karena lidah memang tidak bertulang. Sehingga sangat wajar bila berbagai kemungkinan itu terjadi. Tapi bukan berarti membiarkan lidak bergerak dan bertingkah seenaknya, karena mengabaikannya mengikuti kehendak nafsu dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup, terutama dalam menjalin komunikasi sosial dengan sesama.
Bukan lidah kalau ia tidak pandai bertingkah. Bukan Pula lidah kalau ia tidak pandai bersilat, hingga menjadikan pemiliknya seorang yang taat, atau bahkan pelaku maksiat karena membuat sakit hati orang-orang terdekat. Karena lidah memang tidak bertulang. Sehingga sangat wajar bila berbagai kemungkinan itu terjadi. Tapi bukan berarti membiarkan lidak bergerak dan bertingkah seenaknya, karena mengabaikannya mengikuti kehendak nafsu dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup, terutama dalam menjalin komunikasi sosial dengan sesama.
Tidak dapat dipungkiri, sadar atau tidak, lidah kita sering terpeleset dan membuat orang lain sakit hati. Baik antara pasangan suami istri, orang tua dengan anak, pimpinan dengan karyawan, sesama rekan kerja, ataupun dalam tataran lain yang lebih luas sekupnya. Faktor salah persepsi dan mis komunikasi diklaim sering menjadi penyebab utamanya. Hal tersebut terjadi karena pihak yang terlibat dalam interaksi sosial tersebut, sedikit sekali yang mau mendalami terlebih dahulu duduk masalah yang terjadi dengan hati yang jernih, akal yang sehat, serta kearifan bersikap; hingga akhirnya keluarlah rentetan kata-kata memvonis dan menjustice pihak lainnya. Jika sudah demikian, tak ayal lagi, hubungan sosial semakin tidak sehat dan tidak bersahabat, walaupun tampang muka nampak welcome dan friendly. Terlebih bila ego dan merasa diri sebagai top star masih bercokol di dada, seperti perasaan lebih senior, lebih berilmu, ataupun karena pangkat dan kedudukan yang jauh lebih tinggi dari yang lain.
Sesungguhnya, kalaupun ada dalam posisi yang benar dan hendak memperbaiki, ada adab dan etika yang harus dipelihara saat menyampaikannya, memperhatikan waktu yang tepat, suasana hati yang tenang, serta pemilihan kata yang baik dan penjelasan yang penuh kearifan. Bukankah kritik pun akan terasa kripik bila disampaikan dengan cara yang santun?
Lain halnya jika dilakukan seenaknya tanpa memperhatikan hal-hal di atas. Bukan perubahan baik yang terjadi, melainkan tindakan apriori yang semakin menjadi. Mengingat ada sisi-sisi hati yang terlukai dan renung qalbu yang tertusuk. Kebersamaan sulit terbangun. Kepercayaan kepada pimpinan semakin memudar seiring dengan integritasnya yang ketahuan “warna” dominannya. Kehadiran di ruang kerja hanya sebatas rutinitas fisik belaka, tidak ada ruh dan rasa memiliki terhadap organisasi yang sedang dijalani.
Maka, sungguh cerdaslah orang-orang yang profesional dalam bekerja dan arif dalam bersikap. Tidak saja bekerja sesuai Standar Operational Prosedure (SOP), namun juga mampu meraba perasaan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang terzhalimi, baik waktu, perasaan, maupun hak-hak lainnya.
Belum ada Komentar untuk "Lidah Tak Bertulang"
Posting Komentar