Profesional Konvensional
Senin, 03 Oktober 2011
Tulis Komentar
Bekerja secara profesional adalah dambaan setiap orang. Semuanya sepakat, tidak ada satupun perusahaan/lembaga di dunia ini yang membolehkan karyawannya berleha-leha.
Saat ini, ketika mendengar kalimat “bekerja profesional”, seakan hanya berpihak dan milik para leader yang menuntut kerja profesional dari karyawannya. Padahal sesungguhnya, kalimat itu juga merupakan hak bagi karyawan secara sempurna, mereka berhak menuntuk “hak profesional” kepada pimpinannya setelah melakukan kewajiban dengan baik dan sesuai prosedur yang ada.
Pimpinan yang memberikan “hak profesional” bagi karyawannya, merekalah super leader yang “memanusiakan manusia”. Memberikan perhatian dan kesejahteraan yang cukup berdasarkan integritas, kualitas, dan pengabdiannya pada lembaga; bukan memberikan penilaian berdasarkan selembar kertas yang dapat “ditemukan” di banyak tempat. Apabila cara ini yang masih berlaku, maka inilah yang disebut oleh sebagian orang sebagai “profesional konvensiaonal”, alias jadul.
Memang belum terlalu banyak super leader yang siap merubah “jurusnya”, menghargai dan memanusiakan manusia berdasarkan kapasitas, kualitas, dan kinerjanya, bukan berdasarkan strata akademik formalnya. Akan tetapi, bila kita mau melongok ke luar, betapa banyak orang-orang cerdas dan menghasilkan karya brilian, padahal pendidikan formal mereka tidak tinggi atau bahkan tidak tuntas sama sekali. Dan itu sudah cukup menjadi bukti, bahwa cerdas dan kualitas tidak dapat diukur dari selembar kertas (baca : ijazah).
Betapa sedih saat mendengar ada seorang ibu yang sudah mengabdi sekian lama di sebuah lembaga, lalu ia tiba-tiba tidak dapat lagi menerima hak-haknya sebagaimana ia terima pada bulan-bulan sebelumnya. Hanya karena ia lulusan Sekolah Dasar (SD), bukan yang lain. Ia tersandung peraturan lembaga yang mengeluarkan kebijakan gaji sesuai dengan jenjang akademik yang telah dicapainya. Padahal loyalitas dan kinerjanya telah teruji untuk lembaga tersebut.
Sementara di saat yang bersamaan, ada beberapa karyawan yang baru masuk langsung mendapatkan kesejahteraan yang lebih tinggi darinya, padahal loyalitas dan kinerja mereka belum teruji oleh lembaga. Inilah dampak dari “profesional konvensional” yang tidak memanusiakan manusia.
Change your professional! Mari benahi diri kita. Hargai orang-orang yang ada di sekeliling kita berdasarkan integritas, karya dan pengabdiannya, bukan berdasarkan lembar ijazahnya. Terlalu hina jika menilai manusia berdasarkan hal itu. Karya dan pengabdian jauh lebih dapat berbicara daripada kertas ijazah yang diam seribu bahasa. Dengarkan isi hati dan jeritan malam mereka saat mengadu pada Rabb-Nya, jangan-jangan mereka adalah orang-orang yang terzhalimi oleh kebijakan kita yang tidak mengedepankan perasaan dan kearifan. Lagi-lagi, kearifan.... Siapa sih Arif? :)
Belum ada Komentar untuk "Profesional Konvensional"
Posting Komentar