Kado Cinta Untuk Syifa ( 2 )

Hari – hari terus berlalu menyertai anak-anak yang sedang belajar di Ma’had Al-Banna Lil Banat. Riuh gemuruh suara para thalibah yang sedang menghafal membahana di ufuk semesta. Ada lantunan kalam ilahi yang sedang dihafal, ada senandung nasyid yang saling bersahutan dari setiap pojok kamar kehidupan. Semuanya menjadi satu dalam kebersamaan dan kekeluargaan. Tak ada satu pun yang ditutup-tutupi dari yang lainnya.

Pun juga dengan peristiwa tiga hari yang lalu yang menimpa Syifa. Seluruh jagat Ma’had Al-Banna sudah mengetahuinya. Tak terkecuali, ketua Yayasan Urwatul Wutsqa, ustadzh Dewi Farhati. Berita itu begitu mudahnya menyebar dari mulut ke mulut. Bahkan ada sebagian bunda-bunda guru yang menyaksikan langsung pristiwa tempo hari itu. Kecuali Bunda Salma, wali asrama Syifa, ia belum mengetahuinya, karena pada saat itu ia sedang ditugaskan ke luar kota untuk mengikuti pelatihan 7 hari lamanya.

Sekalipun bunda Salma belum mendapat jawaban sejujurnya dari Syifa, sekarang ia mengerti dengan permasalahan yang menjadi sebab Syifa mengurung diri di kamar, enggan sekolah dan bersosialisasi. Ia baru mendapatkan info sebenarnya dari wali asrama yang menggantikannya selama ia bertugas ke luar kota.

Sampai di sini, ia belum dapat berbuat banyak. Entah apa yang harus dilakukannya pada Syifa. Membangkitkan semangatnya kembali untuk belajar, terlebih UN sudah di ambang pintu. Setiap kelas XII harus sudah optimal mempersiapkan segalanya. Bunda Salma tampak masih memikirkan cara terbaik dan arif untuk menyelesaikan semuanya.

Maktab Mudarrisat

Jam dinding di kantor guru menunjukkan pukul 09.35 wita. Jadwal istirahat bagi para siswa dan guru. Ada sekitar 30 menit untuk mereka manfaatkan. Baik untuk shalat dhuha, atau sekedar membeli camilan di kantin sekolah yang tersedia. Hari ini, semua bunda hadir di kantor. Karena sesuai jadwal, hari Senin adalah koordinasi semua guru dengan kepala sekolah, Ustadzah Zainab.

“Assalamu’alaikum wr. wb…” Ustdzah Zainab mengawali koordinasi pekan ini.

“Bunda-bunda guru yang saya hormati.. Untuk koordinasi pekan ini, tidak banyak yang ingin saya sampaikan dan ingin saya ketahui. Toh kita semua sudah mengetahuinya bersama peristiwa yang terjadi beberapa hari kemarin. Hanya satu pesan saya, ariflah dalam bertindak dan bersikap. Benar belum tentu baik bila dilakukan tidak dengan cara yang arif bijaksana. Esok ba’da zhuhur, ketua Yayasan meminta seluruh guru dan jajaran pengurus sekolah untuk mengikuti kebersamaan dengan beliau. Tampaknya ada hal yang penting. Pastikan semuanya bisa hadir ya….”

“Hanya itu saja untuk koordinasi hari ini. Yang lainnya akan kita bahas di kebersamaan besok dengan ketua Yayasan. Terima kasih atas segala perhatiannya. Wassalamu’alaikum wr. Wb.”

Tak seperti biasanya, koordinasi kepala sekolah dengan seluruh guru hanya berjalan singkat. Sesingkat pesan yang disampaikannya. Namun memiliki bobot yang cukup berat. Ada apa kebersamaan esok hari dengan ketua Yayasan? Apakah ada kaitannya dengan peristiwa yang menimpa Syifa? Atau bahkan mungkin akan ada guru yang dirumahkan dari Ma’had Al-Banna? Semua guru memendam pertanyaan masing-masing. Namun semuanya baru sebatas syak wa sangka, sampai tibanya esok hari yang dijanjikan di kebersamaan.

Daar Al-Biruni

Satu persatu para guru Ma’had Al-Banna Lil Banat datang silih berganti. Memenuhi undangan yang disampaikan kepala sekolah saat koordinasi kemarin. Tak terkecuali, seluruh bunda dari jajaran wali asrama juga turut hadir. Termasuk Bunda Salma yang selama ini mengasuh Syifa Qalbina. Serta ustadzah Dewi Farhati selaku ketua Yayasan Urwatul Wutsqa yang akan memberikan wejangan.

Tak butuh waktu lama menunggu semuanya bisa hadir. Dalam hitungan sepuluh menit, semuanya sudah hadir dan siap mengikuti rangkaian acara kebersamaan. Tak lama berselang, acara pun dimulai, hingga sampailah pada acara inti, wejangan dari ketua yayasan, ustadzah Dewi Farhati.

“Assalamu’alaikum wr. wb.
“Ibu kepala sekolah dan bunda-bunda guru yang saya hormati. Sungguh bahagia saya berada di tengah-tengah para pendidik. Sosok-sosok yang senantiasa belajar untuk memperbaiki diri dan memperbaiki orang lain. Tak angkuh dengan ilmu yang didapat. Tak arogan dengan ribuan alasan yang dapat ia berikan. Perilakunya adalah cermin bagi yang lain. Tutur katanya santun penuh kearifan dan tak menyakitkan. Mereka berbuat sebelum mengatakannya. Mereka berbuat sebelum yang lain melakukannya. Mereka lebih khauf kepada Allah daripada ke yang lainnya. Tidak ada yang mereka besarkan selain kebesaran Tuhannya, Allah Swt. Sejatinya, merekalah guru-guru peradaban untuk generasi peradaban yang sesungguhnya.”

Demi menyimak wejangan ustadzah Dewi Farhati, beberapa bunda dan guru meneteskan air mata. Yang lain khusyu syahdu dalam evaluasi diri mengingat perjalanan selama ini. Entah apa yang sedang bergemuruh dalam benak mereka. Yang pasti, wejangan ketua yayasan menyadarkan kekhilafan yang telah mereka perbuat selama ini.

“Peristiwa kemarin, cukup sudah menjadi pelajaran bagi kita. Dan harus menjadi pelajaran bagi semuanya. Bahwa misi membangun peradaban hakiki yang ingin kita bangun, bukanlah mengantarkan para siswa menggapai gelar master atau doctoral, tapi mengantarkan mereka untuk mengetahui dan memahami Rabbnya, lalu berusaha tunduk dan patuh pada-Nya.”

Sejenak ustadzah Dewi Farhati mengambil nafas panjang. Seperti ada beban berat yang ingin segera ia pecahkan. Yang menyesaki dada dan pikiran beberapa hari ini.

“Dengan konsep boarding school yang kita miliki, seyogyanya perihal jumlah jam pelajaran yang ditetapkan DIKNAS tidak lagi menjadi permasalahan. Kita bisa lebih leluasa mengatur dan mengkondisikannya dengan kebutuhan kita. Tidak harus saklek dan menelannya mentah-mentah. Jika demikian, apa bedanya sekolah kita dengan yang lain? Justru karena itulah, sekolah ini didirikan.”

Pandangan ustadzah Dewi Farhati kembali menerawang panjang. Sorot matanya yang tajam menyimpan segudang cita-cita dan visi yang tinggi.

“Maaf Bunda Salma, berkenan menghadirkan Syifa ke sini?” ustdzah Dewi Farhati meminta.

“Baik… insya Allah”. Timpal Bunda salma yang sejurus kemudian menuju asrama asuhannya, Syifa Qalbina.

Tak lama berselang, Bunda salma sudah hadir kembali di Daar Al-Biruni dengan menggandeng Syifa di sebelah kanannya. Mata Syifa masih tampak layu dan tubuh yang masih lesu. Ke duanya duduk berdampingan di tempat duduk Bunda Salma semula.

“Sosok seperti inilah, generasi peradaban yang sesungguhnya saya dambakan. Pribadi yang lebih mendahulukan ajakan Tuhan daripada rayuan makhluknya. Generasi yang berorientasi ukhrawi tak sekedar duniawi. Tak takut dengan celaan orang yang mencela, karena baginya celaan adalah ladang pahala. Aktivitasnya di dunia tak memalingkannya dari segera mengingat dan bertaqarrub pada Rabb-Nya.”

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur : 37)

Kini, ustadzah Dewi Farhati mendekati Syifa yang duduk di samping Bunda salma.

“Syifa… maafkan kami nak… Engkau guru kehidupan yang begitu berharga bagi kami… Engkau telah mengajarkan arti ketauhidan yang sesungguhnya kepada kami.. Nak…, tersenyumlah… Bunda ingin melihat kau kembali tersenyum seperti sediakala… Saat kau dan teman-temanmu belajar dengan penuh semangat dan ceria… Kemarilah nak… Kemarilah….” Ustadzah Dewi Farhati membuka lebar ke dua tangannya…

“Brukkk…..” Syifa merangkul erat pelukan bunda Dewi farhati. Dengan deraian air mata yang membasahi pipi mungilnya… “Bunda… aku tidak punya siapa-siapa lagi di sini… Aku hanya sebatangkara yang dipungut dari bongkahan sampah bencana…” lirih Syifa dengan mata berbinar-binar.

“Tidak sayang…. Mulai sekarang, akulah Ibumu. Kau punya ibu, ayah dan saudara-saudara. Panggilah aku ibumu…. Kau punya Ayah dan kakak di rumah…. Sejak sekarang, tak boleh lagi ada sedih dan gelisah. Kamu harus belajar dengan giat dan semangat. Ok?” Bunda Dewi memberikan semangat..

Semua mata yang menyaksikan haru membiru mendapati kejadian yang ada di hadapan. Bagaimana tidak. Kejadian yang baru saja berlalu mmemberikan pesan mendalam bagi mereka dalam mengemban amanah pendidikan.

*************

Sejak saat itu, tak ada lagi Syifa-Syifa lain yang yang sering keluar di jam pelajaran ke 6 untuk segera mengahapiri pagilan ilahi. Karena jam pelajaran sudah diberhentikan sejak pukul 11.30 wita, dan seluruh siswa sudah disiapkan menuju masjid untuk menunggu waktu zhuhur tiba. Ada yang mengisinya dengan tilawah Al-Quran, muraja’ah, atau melakukan amaliah sunnah lainnya.

Sungguh, peristiwa di siang terik itu menjadi inspirasi dan titik balik perubahan bagi masa depan Ma’had Al-Banna Lil Banat. Sekolah yang mengantarkan para siswinya menjadi generasi yang mengenal diri dan Tuhannya, mengabdikan semua hidup untuk-Nya demi mencari kemuliaan di sisi-Nya. Merekalah generasi peradaban Islam yang akan melanjutkan estafeta perjuangan di masa depan.

*************

Delapan tahun kemudian, beredar kabar di Ma’had Al-Banna Lil Banat, bahwa Syifa kini lagi menempuh desertari doktoralnya di Universitas Indonesia, di samping kesibukannya sebagai salah satu mujahidah parlemen dari salah satu partai Islam yang ada. Kepiawaiannya dalam public speaking  yang dibina sejak di Ma’had Al-Banna, mengantarkannya menjadi pribadi multi talent yang sering didaulat untuk mengisi berbagai acara di berbagai kota.

Sungguh, semuanya sebagai buah dan anugerah dari kecintaannya kepada Allah Azza wa jalla.
 
Alhamdulillahirabbil 'alamin

 
Beberapa istilah dalam tulisan :
1.    Rencong : Senjata tajam belati tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf "L"
2.    Thalibah : Siswi putri
3.    Maktab Mudarrisat : Kantor Guru (putri)
4.    Darr Al-Biruni : Aula Al-Biruni

Belum ada Komentar untuk "Kado Cinta Untuk Syifa ( 2 )"

Posting Komentar

Bagaimana menurut anda? Tuliskan komentar anda pada di bawah ini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel