Kado Cinta Untuk Syifa ( 1 )
Sabtu, 26 Mei 2012
Tulis Komentar
Matanya sembab penuh sedih. Mengurung diri di kamar dan tak mau berinteraksi dengan yang lain. Rasa kecewa, bersalah, dan gelisah bercampur aduk dalam hati yang terasa remuk. Beberapa hari ini, kegiatannya hanya menyendiri dan tak ingin bercengkrama dengan sesama. Ia trauma dengan kejadian yang dialaminya tiga hari yang lalu. Saat guru Aqidah menghakiminya di depan teman-teman sekelas.
Dialah Syifa Qalbina. Siswi yang kini duduk di kelas XII IPA Ma’had Al-Banna Lil Banat (Sekolah Putri Al-Banna). Sebuah sekolah megah di bawah kaki gunung Tawangmangu Solo, yang didirikan oleh Yayasan Urwatul Wutsqa yang berpusat di kota yang sama.
Di sekolah yang memiliki konsep boarding school, Syifa dan teman-teman menjalani aktifitas harian di Ma’had Al-Banna dengan tertib dan terjadwal. Pagi sampai siang sekolah, sore sampai malam dihabiskan di asrama dengan segudang kegiatan yang sudah terjadwal pula. Ia dan teman-teman biasa menjalani hari-hari dengan ceria dan penuh semangat. Tapi tidak dengan hari ini. Entah apa yang terjadi.
Keberadaannya di Ma’had Al-Banna Lil Banat, juga ternyata menyimpan cerita. Syifa bukanlah sosok dari keluarga berada yang dapat dengan mudah masuk sekolah mewah dan tidak cukup murah untuk masyarakat biasa. Ia hanya anak sebatangkara. Tak memiliki Ayah – Bunda sebagaimana yang lainnya. Kehadirannya di Ma’had Al-Bina lebih karena sebuah keluarga yang baik hati yang membawanya dari bencana Tsunami yang menimpa serambi Makkah beberapa tahun yang silam.
Sungguh beruntung Syifa. Ia dapat belajar di tempat pavorit tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun, karena Yayasan Urwatul Wutsqa membebaskan semua biaya pendidikan bagi semua anak-anak korban bencana, termasuk Syifa. Keluarga yang membawanya, menyerahkan hak pengasuhan Syifa sepenuhnya kepada Yayasan tersebut. Terselip kabar, keluarga tersebut kini sudah tidak lagi tinggal di Solo. Mereka pindah ke Jakarta bersama keluarga besarnya.
*****************
“Syifa.., ayo makan nak! Waktu makan sudah tiba. Nanti kan kamu masuk sekolah…” Suara halus penuh keibuaan merayu Syifa untuk segera makan pagi. Sosok mulia yang hampir menggantikan posisi ibu bagi dirinya. Dialah bunda Salma. Wali asrama yang hampir tiga tahun menemani Syifa di Ma’had Al-Banna Lil Banat.
“Saya tidak lapar bunda. Saya tak mau sekolah” Timpal Syifa dari atas tempat tidurnya yang belum juga dirapikan. Bahkan selimutnya ia lebarkan kembali menutupi tubuhnya yang kecil. Seperti yang tidak mau diganggu, ia masukkan kepalanya sekalian ke dalam selimut tersebut. Berharap tidak ada seorang pun yang kembali bertanya-tanya padanya.
“Nak Syifa…, sebenarnya ada apa? Kok tidak seperti biasanya… Boleh bunda tahu?” Bunda Salma mencoba mendekat dan merayu Syifa. Mengelus-elus rambut dan kepala Syifa sebagaimana kebiasaannya saat bicara heart to heart dengan anak asuhannya.
“Tidak apa-apa bunda. Saya hanya kurang enak badan saja”. Jawab Syifa menyembunyikan permasalahan sesungguhnya. Ia belum berani membuka peristiwa yang dilaluinya beberapa hari yang lalu.
***************
Sosok yang cerdas, tangkas, rajin dan ulet. Itulah karakter unggul yang dimiliki Syifa Qalbina. Anak negeri rencong yang kini menimba ilmu di Solo, di Ma’had Al-Banna Lil Banat yang menjadikannya bahagia di tengah-tengah ketiadaan sanak dan saudara. Kebersamaan dengan teman-teman dan bimbingan para guru membuatnya betah dan merasa memiliki keluarga yang jauh lebih berharga dari sekedar harta.
Baik di kelas ataupun di asrama, Syifa dikenal sebagai anak yang patuh dan ta’at. Hampir tidak pernah melawan bunda-bunda guru yang mengajari dan mengurusnya. Kecintaannya pada membaca, membuatnya tidak lepas dari membawa buku bacaan kemana pun ia pergi. Ada saja buku yang dibawa untuk dibaca olehnya. Wajar saja, di usianya yang masih belia, ia memiliki wawasan dan cara berpikir yang lebih dewasa bak seorang mahasiswa. Kreatif dan seringkali kritis.
“Tetttt….. Tettttt….” Bunyi bel berdiring keras. Pertanda pergantian jam belajar telah tiba. Jam pelajaran ke 5 dan 6 yang biasa berlangsung hingga pukul 12.10 wita. Jadwal sekarang di kelas XII IPA adalah pelajaran Aqidah. Pelajaran yang sudah lama dipegang oleh Bunda Halimah.
“Assalamu’alaikum… Apa kabar anak-anak?” Bunda Halimah mengawali pertemuan
“Bikhair alhmadulillah…” Serempak anak-anak kelas XII IPA menjawab.
“Anak-anak yang bunda sayangi…, di sini ada yang bernama Syifa Qalbina?”
“Saya bunda…” Sesosok tubuh kecil di pojok kelas berdiri dan angkat tangan. “Saya Syifa Qalbina” kembali ia menegaskan namanya.
Seluruh mata di ruangan tertuju padanya, seakan tak ada hal lain yang lebih penting untuk mereka perhatikan, guru mereka, yakni Bunda Halimah.
“Syifa…, bunda banyak mendapat laporan dari bunda-bunda guru yang lain, kamu sering keluar kelas di jam pelajaran ke 6 dan tidak masuk kelas lagi. Benarkah demikian?” Selidik Bunda Halimah dengan kesan introgatif. Maklum, selain mengajar Aqidah, Bunda Halimah juga diamanahi sebagai kesiswaan di Ma’had Al-Banna Lil Banat ini. Sehingga berbagai permasalahan kesiswaan seringkali dikeluhkan kepadanya.
“Benar bunda”. Jawab Syifa tegas.
“Kenapa kamu lakukan hal itu? Bukankah kamu tahu pelajaran jam ke 6 itu sampai pukul 12.10?” Sejurus pertanyaan Bunda Halimah kembali mendarat padanya.
“Saya hanya ingin belajar menjadi pribadi yang ta’at dan dicintai Bunda…” timpalnya penuh hormat
“Syifa..! Apakah kau pikir bunda dan teman-temanmu yang lain tidak ingin menjadi pribadi yang ta’at dan dicintai?” Tegas bunda Halimah lantang.
“Saya pikir, tidak….” Syifa kembali menjawab
“Lancang benar kau bicara. Berdiri di depan kamu!” Tambah Bunda Halimah dengan sedikit emosi.
“Anak-anakku sekalian. Inilah contoh tidak baik yang tidak boleh kalian tiru. Syifa si anak sebatangkara yang sok suci dan paling merasa taat, kini mengajari kita menjadi pribadi taat, padahal sesungguhnya dialah yang paling tidak taat. Sering keluar kelas tanpa masuk lagi di jam pelajaran ke 6.”
“Sudah untung kamu dipelihara di sini. Makan gratis dan belajar gratis. Ehh… malah jadi anak yang bandel” Tambah Bunda Halimah lebih puas.
Suasana kelas hening penuh ketegangan. Tak ada suara apapun kecuali suara bunda Halimah dan Syifa yang sesekali menjawab berbagai pertanyaannya. Teman-teman Syifa yang lain tak ada yang berani bergeming, walau sekedar lirik kanan atau kiri, semuanya tertuju ke pemandangan yang ada di hadapan.
“Syifa…, bunda ulang kembali, kenapa kamu seringkali keluar di jam pelajaran ke 6 dan tidak masuk kelas lagi?” Suara Bunda Halimah meninggi.
“Bunda… saya hanya ingin dicintai dan mendapat kemuliaan hakiki.” Jawabnya filosofis
“Bagaimana mungkin kamu dicintai dan mendapatkan kemuliaan kalau caranya begini? Kamu meninggalkan kelas dan tidak mematuhi peraturan terbaru di sekolah ini. Sekolah kita ini menginduk ke DIKNAS dan baru boleh keluar pukul 12.10 wita. Sejatinya, kamu bukan mencari kemuliaan dan kecintaan dari sesama, justru sebaliknya, kamu sedang membuat peperangan dengan lembaga. Melawan kebijakan kepala sekolah.”
Sosok Syifa masih berdiri tegar di depan, setegar rencong yang menjadi tanah kelahirannya. Tapi linangan bening mendung tak lagi dapat ditutup-tutupinya. Membuncah mengalir membasahi pipi bersih yang sekian lama tak pernah dikecup ibunya. Bayangan ibu, ayah dan saudaranya kembali hadir, menambah kerinduannya. Sementara sekarang, dirinya sedang dihadapkan pada pertanyaan yang seakan tidak memihak padanya. Tak ada pembelaan, tak ada ungkapan yang menyejukkan.
“Bunda… izinkan saya menyampaikan alasan. Benar saya sering keluar di jam pelajaran ke 6 tanpa masuk kelas lagi, sekitar pukul 11.45 wita. Saya akui itu semua. Itu saya lakukan karena saya mendengar suara adzan. Panggilan kemenangan dari Pemilik kehidupan. Saya lebih bahagia menghampiri seruan-Nya daripada meneruskan pelajaran dengan megabaikan dan menunda-nunda titah-Nya.”
“Cukup Syifa! Kau berani sekali mengajari gurumu sendiri. Apa kau pikir ta’at pada peraturan kepala sekolah bukan merupakan bentuk ketaatan? Camkan itu!” Hardik Bunda Halimah.
“Maaf Bunda…, bukankah bunda sendiri yang sering mengajarkan kami untuk mencintai Allah?, mendahulukan Allah atas segala yang ada?, bukankah kami dididik disini agar mengenal-Nya lalu kemudian tunduk patuh beribadah pada-Nya? Salahkah saya bila mengamalkan ilmu yang didapat dari bunda?” Untaian jawaban Syifa mengalir bak air yang menemukan celah yang rendah, tak mau berhenti sampai ada sekat yang menghalanginya.
“Cukup! Keluar kau…! Dan berjemur di bawah terik hingga akhir pelajaran..” Amuk Bunda Halimah mengakhiri perdebatannya dengan Syifa.
Kelas XII IPA semakin mencekam. Satu, dua orang teman Syifa dari dalam kelas mencoba melirik dan memperhatikan Syifa yang kini berada di bawah panasnya terik matahari. Ada rasa belas kasihan yang ingin diberikan, ada empati diri yang ingin dibagi untuk menaungi Syifa dari terik mentari. Tapi tak mungkin semua itu mereka lakukan. Pelajaran Aqidah bersama Bunda Halimah kembali berlangsung, berjalan tanpa kehadiran si anak sebatangkara, Syifa Qalbina.
Bersambung ........... ==> Kado Cinta Untuk Syifa ( 2 )
Belum ada Komentar untuk "Kado Cinta Untuk Syifa ( 1 )"
Posting Komentar